Kain Tenun Corak Insang mulai diciptakan dan dikenal pada tahun 1930-an. Dikutip dari Kampung Wisata Tenun Khatulistiwa, corak insang dikenalkan di luar negeri pada saat lawantan YM. Sultan Sy. Muhammad Al Qadrie (Sultan ke-VI) di negeri Belanda guna menghadiri undangan Ratu Wilhelmina (Ratu Belanda).

Ketika itu istri beliau yang bernama Syarifah Maryam Assegaf menggunakan Kain Tenun Corak Insang pada acara kerajaan tersebut dan dihadiri juga raja-raja dari Jawa, kesultanan dari Sumatera (Deli, Langkat, Serdang), Kerajaan Kutai, dan lain-lain. Tahun 1942, pada saat lawatan YM. Sultan Sy. Muhammad Al Qadrie ke Kwitang (Batavia-Jakarta) dalam rangka melaksanakan Salat Idul Adha, beliau juga menggunakan Kain Tenun Corak Insang yang menjadi kebanggaan Kain Tenun Kesultanan Pontianak.

Masa Kerajaan Pontianak atau Kesultanan Kadriyah Pontianak bermula dari tahun 1771 hingga tahun 1950. Pada masa-masa kebesaran dan kejayaan kerajaan Melayu tersebut kegiatan bertenun dalam masyarakat Melayu Pontianal berlangsung dengan semarak.

Konon motif tertua ini sudah dikenal sejak masa pemerintahan sultan pertama Pontianak Syarif Abdurrahman Alkadri, 1771-1808. Dikenalnya kain tenun corak insang dari masyarakat Melayu Pontianak, tak terlepas dari rangkaian sejarah Kesultanan Kadriyah Pontianak itu sendiri. Jenis tenun ini pada umumnya tidak menggunakan bahan baku benang emas. Model Corak Insang sebenarnya memiliki kemiripan dengan tenun Cual dari Sambas, dimana perbedaannya terletak pada motif-motifnya saja.

Kain tenun, termasuk tenun Corak Insang, mula-mula digunakan oleh kerabat kesultanan. Lambat laun digunakan kalangan bangsawan dan kerabat kerajaan yang memiliki kemampuan lebih. Namun dalam perkembangan berikutnya, kain Corak Insang khususnya, dipergunakan pula oleh kalangan masyarakat Melayu umunya. Sejalan dengan tumbuh dan berkembangnya Kerajaan Pontianak, khususnya melalui hubungan perdagangan, pemasaran hasil tenunan berupa kain corak insang pun memperoleh tempat tersendiri. Sehingga tak ada pengecualian pula, perdagangan hasil tenunan masyarakat Melayu Pontianak ini dengan sendirinya menjadi salah satu faktor penunjang timbulnya proses integrasi antar daerah dan menjurus pula terhadap aliran besar cultural yang membawa unsure dan supremasi kebudayaan lainnya.

Untuk membedakan kelompok masyarakat Melayu Pontianak dengan kelompok masyarakat Melayu lainnya di bidang tenunan ini, masyarakat Melayu Pontianak secara khusus memiliki kerajinan tenun yang turun temurun dinamakan dengan Tenun Corak Insang atau hasil tenunannya dikenal dengan Kain Tenun Corak Insang.

Jenis tenun ini pada umumnya tidak menggunakan bahan baku benang emas. Ini antara lain yang membedakannya dengan tenunan Melayu Kalimantan Barat lainnya, seperti hasil tenunan Melayu Sambas, Mempawah, Sanggau, Sintang dan Ketapang ataupun daerah lainnya. Pada perkembangan berikutnya, hasil tenun berupa kain corak insang menjadi pakaian sehari-hari masyarakat Melayu Pontianak dan sekitarnya. Dalam periode itu pula kemudian muncul beberapa motif tenun corak insang yang dikenal luas, antara lain Corak Insang Berantai, Corak Insang Bertangkup, Corak Insang Delima, Corak Insang Awan, Corak Insang Berombak, Corak Insang Bertapak Besar dan lain sebagainya.

Di awal perkembangannya, kain tenun corak insang dihasilkan dari pengaruh kehidupan dan budaya masyarakat Melayu Pontianak yang mendiami kawasan sepanjang Sungai Kapuas. Kehidupan sebagai nelayan yang menjadi profesi masyarakat ini menjadikan ikan sebagai salah satu media pengungkapan atau diwujudkan sebagai ekspresi seni yang dijabarkan sebagai motif atau corak dari hasil tenunan yang dihasilkannya.

Ikan yang dimaksudkan tersebut bukanlah gambar seekor ikan secara utuh, tetapi salah satu bagian terpenting dari anatomi ikan, yaitu yang paling vital yang oleh masyarakat Melayu Pontianak dinamakan dengan insang ikan. Inilah yang dijadikan sebagai obyek manifestasi apreasiasi masyarakat penghasil kain tenun tersebut.

Sumber : Pontianak Post