Oleh : Sahroni*

Perpustakaan merupakan bagian tidak terpisahkan dari buku dan peradaban umat manusia. Oleh karena itu perpustakaan sering dikonotasikan sebagai pranata rsosial yang merefleksikan tingkat peradaban masyarakat. Artinya perpustakaan dapat menggambarkan tentang tingkat literasi masyarakat di sekitarnya.

Meminjam kata-kata Milan Kundera, seorang novelis Republik Ceko – “Jika ingin menghancurkan sebuah bangsa dan peradaban, hancurkan buku-bukunya; maka pastilah bangsa itu akan musnah.”

Memaknai apa yang disampaikan oleh Milan Kundera, bahwa buku memiliki kekuatan yang maha dahsyat bagi keberlangsungan kehidupan suatu bangsa. Begitu penting dan berharganya sebuah buku bagi kehidupan masyarakat. Menyadari akan hal tersebut, tahun 1990 Pemerintah bersama-sama dengan DPR sepakat untuk menerbitkan Undang-Undang Serah simpan Karya Cetak dan Karya Rekam (KCKR).

Kewajiban serah-simpan KCKR yang diatur dalam Undang-undang ini bertujuan untuk mewujudkan koleksi nasional dan melestarikannya sebagai hasil budaya bangsa dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa.

Sebagai pelaksana Undang-Undang KCKR adalah Perpustakaan Nasional (di tingkat Pemerintah Pusat) dan Perpustakaan Daerah Provinsi (di tingkat Pemerintah Daerah Provinsi).

Selama hampir 27 tahun (1990-2017) pelaksanaan Undang-Undang KCKR, hambatan serta tantangan yang dihadapi, terutama di daerah provinsi, di antaranya:

  1. Sarana dan prasarana yang tidak mendukung terhadap pelaksanaan Undang-Udang KCKR, misalnya ruang/gedung penyimpanan yang seadanya tanpa dilengkapi dengan peralatan dan perlengkapan untuk menjaga kelestarian KCKR yang diserahterimakan dari para wajib serah. Dampaknya, para wajib serah menjadi kurang percaya terhadap pihak perpustakaan daerah dalam melaksanakan amanat Undang-Undang KCKR, sehingga mereka enggan untuk menyerahkan karyanya.
  2. Pada umumnya SDM pengelola KCKR di perpustakaan daerah bukan SDM profesional yang memiliki keahlian teknis dalam mengelola hasil serah simpan KCKR.
  3. Walaupun sudah dilakukan sosialisasi tentang wajib serah simpan KCKR berkali-kali terhadap para wajib serah, ternyata hasilnya kurang efektif, terutama para wajib serah yang berasal dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Hal ini disebabkan karena frekuensi mutasi di OPD sangat tinggi, sehingga ASN yang pernah mendapat sosialisasi Undang-Undang KCKR tiba-tiba di pindah ke bagian yang tidak menangani yang berkaitan dengan penerbitan;
  4. Di daerah provinsi, kebanyakan penerbitnya bukan penerbit komersial. Lebih banyak penerbit perorangan (Indi) dengan lingkup dan jumlah terbitan yang sangat terbatas, sehingga menyulitkan dalam pemantauannya.

Banyak hal yang menentukan keberhasilan pelaksanaan Undang-Undang KCKR di daerah, diantaranya Perpustakaan Daerah Provinsi selaku pelaksana, komitmen pemerintah daerah provinsi terhadap pelestarian KCKR sebagai warisan budaya bangsa, serta partisipasi masyarakat perbukuan di daerah.

Undang-Undang KCKR Lama Vs Undang-Undang KCKR Baru

Dari sisi isi, tentu saja Undang-Undang KCKR No. 13 Tahun 2018 sebagai penyempurna dari Undang-Undang KCKR sebelumnya lebih lengkap dan lebih akomodatif terhadap perkembangan zaman. Undang-Undang KCKR No. 4 Tahun 1990 terdiri dari enam bab dan empat belas pasal, sedangkan Undang-Undang KCKR No. 13 Tahun 2018 terdiri dari delapan bab dan 36 pasal.

Sebagaimana yang sering muncul dalam setiap Rapat Koordinasi Pelaksanaan serah simpan KCKR di tingkat nasional, Undang-Undang KCKR No. 4 Tahun 1990, memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:

  1. Sudah tidak sesuai dengan perkembangan zaman, yang sekarang sudah memasuki era milenial dan era industri 4.0;
  2. Memposisikan para wajib serah sebagai objek hukum, bukan subjek pembangunan, hal ini dengan adanya sanksi pidana denda da kurungan;
  3. Tidak memberikan ruang terhadap partisipasi masyarakat untuk turut serta membangun dan mewujudkan koleksi nasional yang lengkap dan lestari;
  4. Kurang menghargai terhadap partisipasi masyarakat yang melakukan upaya pelestarian KCKR sebagai upaya melestarikan kebudayaan daerah dan kebudayaan nasional.

Beberapa hal positif dari Undang-Undang No. 13 Tahun 2018, adalah munculnya pengaturan baru yang tidak diatur dalam undang-undang sebelumnya, serta penghapusan beberapa aturan yang ada pada undang-undang lama, di antaranya adalah:

  1. Adanya kewajiban Pemerintah dan Pemerintah Daerah Provinsi untuk menyediakan sumber pembiayaan terhadap pelaksanaan Undang-Undang KCKR. Pendanaan ini di atur dalam Bab IV, Pasal 29;
  2. Masyarakat dapat berpartisipasi aktif dalam pelaksanaan serah simpan KCKR sesuai dengan aturan-aturan yang sudah ditentukan. Hal ini tertuang dalam Bab 5, Pasal 30;
  3. Perpustakaan Nasional (di tingkat pemerintah pusat) dan Perpustakaan Provinsi (di tingkat pemerintah daerah provinsi) berkewajiban untuk memberikan penghargaan terhadap penerbit dan produsen Karya Rekam yang melaksanakan kewajiban sesuai dengan ketentuan dalam undang-undang. Ketentuan ini diatur pada Bab VI, Pasal 31.
  4. Yang paling melegakan, baik bagi pihak perpustakaan maupun para penerbit dan produsen karya rekam, adalah pencabutan sanksi pidana denda dan kurungan. Gantinya sanksinya bagi para pelanggar adalah sanksi administratif yang di atur pada Pasal 7, Ayat (4) berupa: teguran tertulis, pembekuan kegiatan usaha; dan/atau pencabutan izin.

Kesimpulan

Undang-undang, peraturan, dsb. hanyalah salah satu sarana, bukan penentu keberhasilan dalam melaksanakan serah simpan KCKR. Banyak faktor yang menentukan, diantaranya, SDM pelaksana, pemahaman teknis pimpinan, kebijakan kepala daerah dalam hal anggaran, komitmen politik para wakil rakyat, serta partisipasi para pemangku kepentingan.

*) Pustakawan Madya pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Prov. Kalbar