Oleh : Rahma Ria Poerba

Arsip membantu seseorang memperbaiki ingatan. Arsip menunjukkan kekuatan pribadi pemiliknya. Arsip tidak akan berbohong karena ia tidak bisa membantah dirinya sendiri,”

            Ungkapan di atas menunjukkan betapa pentingnya arsip sebagai rekaman informasi (recorded information) yang merupakan gambaran dari realitas pemilik atau pencipta arsip dalam dunia kearsipan dikenal sebagai creating agency- baik itu individu maupun organisasi. Dalam konteks penelitian sejarah, arsip dikategorikan sebagai sumber primer, disebut demikian karena arsip merupakan pengetahuan tangan pertama (firsthand knowledge)  dan rekaman sezaman dari suatu kejadian atau peristiwa.

            Sebagai sumber primer dalam penelitian dan penulisan sejarah, arsip merupakan komponen yang utama bahkan begitu besarnya peran arsip dalam penulisan sejarah sehingga terdapat pemahaman bahwa apabila tidak ada dokumen(arsip) maka tidak ada sejarah (no document no history).

Meskipun arsip memiliki substansi yang teramat penting dalam penulisan sejarah, namun di negeri ini tampaknya belum diikuti oleh kesadaran pengelolaan arsip yang baik. Sebagai gambaran umum bisa dilihat dari banyaknya dokumen atau arsip vital negara yang hilang, sulitnya menemukan bahan arsip untuk penelitian, banyaknya institusi, lembaga, instansi yang tidak memiliki records centre,  dan masih banyak persoalan seputar dunia kearsipan di Indonesia.

 Berangkat dari permasalahan di atas, kita melihat bahwa kesadaran untuk mengumpulkan, menyimpan, maupun menata berbagai dokumen atau arsip yang dinilai berharga belum banyak dilakukan. Bahkan, jika dikaitkan dengan persoalan kultur, kegiatan mengarsip dan kepedulian terhadap pentingnya arsip di negeri ini tergolong rendah.

Bahkan sudah menjadi semacam kewajiban bagi peneliti sejarah yang menulis desertasi,  mau tidak mau harus terbang ke negara lain untuk mencari berbagai dokumen mengenai Indonesia. Sebut saja lembaga seperti Perpustakaan Universitas Leiden dan KITLV (Pusat Penelitian Bahasa dan Antropologi) di Belanda, Perpustakaan milik Universitas Cornell di AS, dan beberapa nama lembaga lain di luar negeri, telah demikian dikenal memiliki dokumen yang tergolong lengkap tentang Indonesia.

Satu contoh kasus dialami oleh Tim Pustakaloka Harian Kompas yang mengalami kesulitan  saat berhubungan dengan dokumentasi tentang Indonesia. Untuk mendapatkan naskah asli sebuah drama berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno yang terbit pada pertengahan abad ke-19, tim tersebut harus mengunjungi Perpustakaan Universitas Leiden.

Dari serangkaian gambaran di atas, pertanyaan yang muncul adalah sudah sedemikian parahkah persoalan yang berkaitan kearsipan atau dokumentasi di negeri ini? Bagaimana sebetulnya peta pendokumentasian di negeri ini? Apakah memang semua koleksi negeri ini tiada lagi yang tersisa sehingga untuk mempelajari sejarah negeri ini pun harus di negeri orang?

Kesadaran Kearsipan

Beberapa alasan mengapa manusia merekam informasi; alasan pribadi, alasan sosial, alasan ekonomi, alasan hukum, alasan instrumental, alasan simbolis, dan alasan ilmu pengetahuan. Alasan-alasan tersebut pada hakikatnya merupakan sebuah kesadaran bahwa begitu pentingnya nilai informasi bagi segala aspek kehidupan manusia. Oleh karena itu untuk dapat memaksimalkan pemanfaatannya, informasi tidak cukup hanya direkam, namun  perlu upaya pengelolaan mulai dari penciptaan hingga masa akhir dari pemanfaatan informasi tersebut. Mengelola informasi berarti mengelola arsip karena sesungguhnya yang dimaksud arsip adalah rekaman informasi (recorded information).

Di dunia yang semakin kompleks ini, kegiatan apapun tidak lagi mengandalkan ingatan pelaksana atau pelakunya. Apa yang harus dilakukan adalah mengelola informasi melalui pengelolaan arsipnya. Benar kata pepatah bahwa memory can fail, but what is recorded will remain.

Membahas tentang arsip ataupun pendokumentasian, sebetulnya sepanjang sejarah peradaban, kegiatan ini tidak bisa dihindarkan dari kehidupan manusia sebagai makhluk individu maupun sosial. Kegiatan pengabadian diri maupun aktivitas diri manusia bisa dikatakan telah berlangsung sejak manusia di masa prasejarah mulai membuat gambar-gambar maupun guratan-guratan di dinding-dinding goa batu. Sejak saat itu, hingga kemudian manusia mengenal aksara, tulis-menulis, hingga percetakan, kegiatan pencatatan maupun pengabadian menjadi demikian berkembang. Dari sini sebenarnya manusia menunjukkan kesadaran akan pentingnya pengarsipan atau pendokumentasian.

Kini, kegiatan pengabadian maupun pendokumentasian tidak hanya dilakukan untuk tingkat individu atau keluarga, tetapi juga sudah ada lembaga-lembaga yang bahkan melaksanakannya sampai tingkat institusi tertinggi seperti negara. Koleksi-koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan, museum, maupun lembaga pengarsip telah menjadi sumber pendokumentasian sejarah manusia. Banyak penyelidikan dan penelusuran yang bergantung pada keberadaan lembaga-lembaga ini.

Sadar akan keterbatasan ingatan manusia, maka kesadaran untuk merekam segala aktivitas dalam wujud arsip dengan segala bentuknya menjadi sebuah keharusan. Apabila aktivitas  untuk mendokumentasikan atau mengarsipkan segala aktivitas kehidupan sudah menjadi kesadaran maka berarti kita telah berupaya menghimpun pengetahuan, dan tinggal memanfaatkan himpunan pengetahuan tersebut bagi kemajuan peradaban manusia.

  Arsip Sebagai Sumber Penulisan Sejarah

Profesor Sartono Kartodirdjo mengungkapkan bahwa kunci untuk memasuki wilayah sejarah ialah sumber-sumber seperti legenda, folklor, prasasti, monumen hingga dokumen-dokumen, surat kabar, dan surat-surat. Kesemua yang disebutkan di atas merupakan rekaman aktivitas manusia.

Segala sumber sejarah di atas tidak akan sampai dari generasi satu ke generasi berikutnya kalau tidak ada kesadaran pengelolaan sumber atau tidak ada kesadaran arsip yang dimiliki. Oleh sebab itu keberadaan arsip sebagai salah satu sumber sejarah sebenarnya sejak awal masa penciptaannya sudah bisa diproyeksikan untuk berbagai kepentingan termasuk dalam rangka rekonstruksi sejarah.

Pengelolaan arsip yang baik akan berdampak pada kemudahan proses heuristik dalam kajian sejarah. Seperti diketahui bahwa pada dasarnya, metode penelitian sejarah menyangkut tiga hal pokok. Pertama, mengenai cara-cara menemukan sumber sejarah, yang juga lazim disebut heuristik. Dalam hal ini para peneliti sejarah diuntungkan oleh keberadaan lembaga/instansi pemerintah dan swasta yang berfungsi sebagai tempat menyimpan sumber sejarah, seperti perpustakaan, lembaga kearsipan, pusat-pusat penelitian, dan sebagainya. 

Hal kedua, setelah sumber ditemukan, adalah mengkaji isi sumber itu. Seberapa jauh isi sumber itu bisa diterima sebagai keterangan yang dapat dipercaya. Untuk dapat mengorek keterangan yang terkandung dalam sumber diperlukan keahlian tersendiri, seperti diplomatika sebagaimana telah disebutkan; paleografi atau cara-cara memahami tulisan kuno; kronologi untuk mencocokkan penanggalan yang berlaku dulu dan sekarang; leksikografi atau cara menentukan arti istilah-istilah tempo dulu yang tidak lagi digunakan pada masa kini; numimastik berkaitan dengan cara menentukan nilai mata uang kuno; metrologi atau cara menentukan ukuran dan timbangan yang berlaku dalam zaman yang berbeda-beda; toponimi atau cara menentukan nama-nama tempat pada masa-masa lampau; dan sebagainya.

Ketiga, berkaitan dengan penulisan hasil penelitian atas sumber-sumber tersebut. Penulisan tidak saja membutuhkan keterampilan menulis dan penguasaan kaidah bahasa, tetapi juga menyangkut pemahaman atas terminologi serta teori-teori tertentu yang relevan dengan tema sejarah yang diteliti. Pada umumnya, para ahli sejarah berpendapat bahwa kemahiran penelitian dan kemahiran penulisan hasil penelitian merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan.

Aspek pertama dan kedua dalam metode sejarah di atas berkaitan erat dengan sumber. Secara konvensional, sumber yang dimaksud adalah sumber primer (arsip). Pandangan dasarnya ialah sumber primer merupakan bagian dari bukti tentang masa lampau yang menjadi bahan sumber kajian, yang menjadi tumpuan apakah suatu peristiwa, kejadian, ataupun gejala sejarah dapat direkonstruksi.

 Kesimpulan

Kesadaran nasional berakar pada kesadaran sejarah, kesadaran sejarah akan  terbangun dengan baik dari kesadaran dokumentasi (arsip) bangsa ini. Kesadaran tersebut dapat berfungsi sebagai sumber inspirasi kebanggaan nasional dan memperkuat kebanggaan Indonesia. Kesadaran sejarah juga memantapkan identitas nasional sebagai simbol solidaritas nasional, hal ini berarti pertentangan-pertentangan yang mengarah pada perpecahan bangsa dapat dicegah.

Dengan menoleh kebelakang, membaca arsip, membaca sejarah, menengok pengalaman sejarah bangsa,  kita dapat mengidentifikasi berbagai pengalaman, mempelajari sebab-sebab berbagai gejolak serta berpeluang untuk menetapkan skala prioritas pemecahan berbagai permasalahan.

Suatu bangsa terbentuk dari pengalaman bersama di masa lampau, maka sejarah menjadi esensial bagi nasion. Urgensi belajar sejarah adalah agar manusia mengenal dirinya sendiri sebagai kelompok, menjadikan titik tolak pembangunan masa kini dan masa datang, karena peristiwa sejarah berkesinambungan dari lampau, kini dan datang, menemukan ilham dan keteladanan dari masa lampau demi hidup pada masa sekarang dan yang akan datang, dan membangkitkan apresiasi kultural serta persahabatan antar bangsa menuju perdamaian dunia.

Konflik sosial yang mengemuka kembali akhir-akhir ini seharusnya dapat direduksi apabila bangsa ini sedikit saja memiliki kesadaran sejarah, karena dari kesadaran tersebut berarti kita bisa belajar dari pengalaman-pengalaman kolektif  sebagai bangsa. Ekskalasi konflik pada level elite maupun horizontal yang semakin sering terjadi merupakan refleksi belum sempurnanya penerapan prinsip nasionalisme, kesatuan nasional kita ternyata masih rapuh. Hal tersebut mengindikasikan lemahnya kesadaran kolektif (collective consciousness) bangsa ini, yang berarti lemahnya kesadaran sejarah.

Dengan melihat kenyataan Indonesia saat ini, urgensi membangkitkan kesadaran sejarah seperti dikemukakan di atas perlu segera dimulai. Hal yang sederhana namun menjadi kunci untuk memulai langkah tersebut adalah memupuk kepedulian  terhadap kearsipan atau sadar akan pentingnya arsip sebagai sumber sejarah.