Sejak merebaknya pandemi Covid-19 atau yang lebih dikenal dengan “Corona” pada awal 2020 telah berdampak besar pada segala aspek kehidupan masyarakat. Lebih dari 200 negara, masyarakatnya terdampak Corona. Dikutip dari laman situs Johns Hopkins University & Medicine, sampai dengan 20 Oktober 2020, pukul 02.00, tercatat ada 40.246.655 orang di dunia yang terpapar Corona, dengan jumlah kasus kematian sebanyak 1.115.985 orang, dan kasus kesembuhan sebanyak 27.551.063 orang.

Pada awal kemunculan corona, masyarakat Indonesia menyikapinya dengan berneka ragam, khususnya dalam menangkal serta upaya penyembuhan Corona. Salah satu yang masih segar dalam ingatan kita adalah empon-empon (ramuan dari beberapa tetumbuhan/jamu) yang diklaim dapat menyembuhkan Corona, bahkan didukung oleh pernyataan petinggi di bidang kesehatan. Akibatnya, harga bahan empon-empon yang terdiri dari jahe, temu lawak kunyit dll. melambung tinggi di pasaran. Ironisnya yang terpapar corona pun semakin melambung jumlahnya.

Menurut penulis, apapun upaya masyarakat pada saat kondisi demikian, dianggap wajar, sepanjang obat modern untuk penyembuhan Corona belum ada, sehingga semua upaya masyarakat mengarah kepada kearifan lokal yang ada di lingkungan masyarakat sekitarnya. Menurut Ade M. Kartawinata (2011) dalam pengantar editor buku Kearipan Lokal Di Tengah Modernisasi, pengertian kebahasaan kearifan lokal “… adalah jawaban kreatif terhadap situasi geografis-politis, historis, dan situasional yang bersifat lokal yang mengandung sikap, pandangan, dan kemampuan suatu masyarakat di dalam mengelola lingkungan rohani dan jasmaninya. Semua itu, sebagai upaya untuk dapat memberikan kepada warga masyarakatnya suatu daya tahan dan daya tumbuh di wilayah di mana masyara kat itu berada.”

Dalam pengertian lain Kartawinata mengemukakan bahwa, “ … kearifan lokal, berarti kearifan setempat (local wisdom) yang dapat dipahami sebagai gagasan-gagasan lokal yang bersifat bijaksana, penuh kearifan, bernilai yang tertanam dan diikuti oleh warga masyarakatnya. Dalam konsep antropologi, kearifan lokal dikenal pula sebagai pengetahuan setempat (indigenous or local knowledge), atau kecerdasan setempat (local genius), yang menjadi dasar identitas kebudayaan (cultural identity).

Naskah Kuno Nusantara

Menurut Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, bahwa “Naskah kuno adalah semua dokumen tertulis yang tidak dicetak atau tidak diperbanyak dengan cara lain, baik yang berada di dalam negeri maupun di luar negeri yang berumur sekurang-kurangnya 50 (lima puluh) tahun, dan yang mempunyai nilai penting bagi kebudayaan nasional, sejarah, dan ilmu pengetahuan.”

Pada masyarakat yang sudah mengenal tulisan, kearifan lokal didokumentasikan dalam bentuk tulisan menggunakan berbagai media sesuai dengan perkembangan teknologi yang ada pada zaman itu. Tulisan tersebut kemudian diwariskan secara turun temurun kepada generasi penerusnya. Kearifan lokal tersebut dapat berupa cara bercocok tanam, etika pergaulan, kesehatan, pengobatan, kesenian, agama dan kepercayaan, serta hal-hal yang berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat lainnya.

Konon masyarakat Indonesia sudah mengenal tulisan sejak Abad ke-4. Mengutip dari laman wikipedia, bahwa “Bukti tertua mengenai keberadaan Aksara Nusantara yaitu berupa tujuh buah yupa (tiang batu untuk menambatkan tali pengikat sapi) yang bertuliskan prasasti mengenai upacara waprakeswara yang diadakan oleh Mulawarman, Raja Kutai di daerah Kalimantan Timur. Tulisan pada yupa-yupa tersebut menggunakan aksara Pallawa dan Bahasa Sanskrta. Berdasarkan tinjauan pada bentuk huruf Aksara Pallawa pada yupa, para ahli menyimpulkan bahwa yupa-yupa tersebut dibuat pada sekitar abad ke-4.”

Naskah-naskah warisan nenek moyang itulah sebagai naskah kuno yang menjadi warisan kekayaan budaya bangsa. Sayangnya keberadaan naskah kuno tersebut tidak terpelihara dan terdata dengan baik, bahkan sebagaian naskah kuno banyak yang punah karena usia dan tidak dirawat, tetapi banyak juga yang dijual ke kolektor, khususnya para peminat naskah nusantara dari luar negeri. Menurut data Perpustakaan Nasional, terhitung sekitar 26.000 koleksi naskah Indonesia terdapat di Perpustakaan Universitas Leiden, Belanda. Angka itu belum terhitung naskah-naskah kuno Indonesia yang tersimpan di Perpustakaan The British Library London, The Bodleian Library di Oxford, Perpustakaan Berlin di Jerman, atau di sejumlah negara lainnya.

Kaitannya dengan naskah kuno yang ada di luar negeri, menurut Kepala Perpustakaan Nasional RI, Syarif Bando, Inggris merupakan salah satu negara yang menyimpan naskah-naskah kuno Indonesia terbanyak kedua setelah Belanda. Hal ini dikarenakan Inggris pernah menduduki Bengkulu. Selain itu, Raffles yang datang di abad ke-18 juga banyak membawa surat-surat dari berbagai raja yang berkuasa di Indonesia.

Sumber Pengetahuan Kearifan Lokal

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, tradisi warisan nenek moyang semakin lama semakin hilang terdesak oleh kehidupan modern. Namun di satu sisi, tidak sedikit para ilmuwan yang mencoba untuk mengungkap kembali naskah-naskah kuno yang diwariskan nenek moyang sebagai jawaban alternatif terhadap permasalahan-permasalahan yang dihadapi masyarakat zaman modern sekarang ini.

Prof. DR. Oman Fathurahman, guru besar filologi Fakultas Adab dan Humaniora Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta menyampaikan bahwa “Manuskrip-manuskrip itu tujuannya seperti kaca spion. Lihatlah masa lalu kita pernah apa. Kalau sudah terjadi beberapa kali bencana juga. Melihat pola-pola bencana yang bisa diantisipasi. Seperti kasus di Jepang, yang melihat kasus 75 tahun lalu pernah dilanda gempa dan tsunami besar, makanya dibangun benteng-benteng tinggi untuk menghalangi tsunami,”.

Menurut para filolog, naskah kuno merupakan sumber pengetahuan dan kearifan lokal yang bisa dipadukan dan disandingkan dengan ilmu pengetahuan modern. Salah satu contoh kasus adalah negara Jepang dalam mitigasi bencana yang menggali sumber informasi pada naskah kuno dan memadukannya dengan ilmu pengetahuan modern. Sebenarnya gempa yang terjadi di Negeri Sakura lebih sedikit dibandingkan Indonesia. Hanya saja, informasi atau nilai kearifan lokal digabungkan dengan sains sehingga membuat kebijakan mitigasi bencana yang baik. Masyarakat di sekitar Sendai, Prefektur Miyagi, membangun benteng-benteng setinggi 2-3 meter. Alhasil, ketika gempa melanda pada 2011, korban jiwa pun tak banyak.

Naskah kuno lainnya yang cukup banyak mendapat perhatian adalah yang berkaitan dengan kesehatan dan pengobatan, termasuk ragam tanaman obat yang banyak tumbuh di bumi nusantara.

Sesungguhnya nenek moyang kita sudah memiliki pengetahuan untuk mengobati beragam penyakit, yakni pengobatan yang bahan-bahannya berasal dari tanaman atau tumbuhan yang diperoleh dari alam sekitar. Situasi pandemi Covid-19 yang sedang melanda hampir semua negara saat ini, membuat sebagian masyarakat Indonesia, khususnya filolog dan peminat naskah kuno disejumlah daerah, tergerak untuk melacak arsip dan dokumentasi yang memuat informasi tentang wabah yang pernah terjadi di Indonesia, sekaligus mencari pola yang digunakan oleh leluhur untuk mengatasi wabah tersebut melalui pengobatan berbasis kearifan lokal. Sayang upaya para ahli filolog tersebut masih belum membuahkan hasil yang maksimal.

Pada masa yang akan datang, bukan tidak mungkin pengobatan tradisional yang berbasis kearifan lokal dapat dipadukan dengan ilmu kedokteran modern dalam menangani atau menyembuhkan suatu penyakit.

Kesimpulan

Naskah kuno nusantara merupakan sumber pengetahuan tentang jati diri bangsa Indonesia dengan berbagai latar budaya yang dimiliki para leluhurnya. Oleh karena itu perlu ada upaya untuk menjaga, mengkaji, dan melestarikannya. Naskah kuno banyak memuat tentang agama dan kepercayaan, etika bermasyarakat, sejarah dan silsilah, ceritera rakyat (dongeng, legenda), teknologi, mantra, jimat, kesusastraan, politik dan pemerintahan, undang-undang, hukum adat, pengobatan tradisional, dan sebagainya.

Dalam konteks pernaskahan klasik, menurut Faizal Amin (2012) salah satu persoalan serius yang dihadapi adalah masih banyaknya naskah yang tersimpan di kalangan masyarakat atau perseorangan. Oleh karena itu, upaya penyelamatan, pelestarian, dan pemanfaatan naskah klasik menjadi sebuah keniscayaan.

Mengacu kepada peraturan dan perundang-undangan yang ada, lembaga yang bertanggung jawab menginventarisir dan melestarikan naskah kuno nusantara adalah Perpustakaan Nasional RI pada skala nasional, Perpustakaan Provinsi pada skala provinsi, dan Perpustakaan Kabupaten/Kota pada skala kabupaten/kota. Bukan hanya sekedar menginventarisir dan melestarikan, tetapi pemerintah berkewajiban memberikan penghargaan kepada siapa saja masyarakat yang punya andil besar dan berjasa dalam melestarikan naskah kuno nusantara.

Yang menjadi pertanyaan kita semua, seberapa besar komitmen pemerintah daerah dalam hal menjaga, mengkaji, dan melestarikan naskah-naskah kuno yang ada di daerah masing-masing sebagaimana diamanatkan oleh undang-undang?

Sumber Bacaan

Ade M. Kartawinata (Editor). Kearipan Lokal Di Tengah Modernisasi. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebudayaan, Badan Pengembangan Sumber Daya Kebudayaan dan Pariwisata, 2011.

Faizal Amin. Potensi Naskah Kuno di Kalimantan Barat : Studi Awal Manuskrip Koleksi H. Abdurrahman Husin Fallugah Al-Maghfurlahu di Kota Pontianak, dalam Jurnal Thaqafiyyat, Vol. 13, No. 1, Juni 2012

https://coronavirus.jhu.edu/map.html, diakses 20 Oktober 2020

https://id.wikipedia.org/wiki/Aksara_Nusantara, diakses 20 Oktober 2020

https://news.detik.com/x/detail/intermeso/20201008/Jejak-Mitigasi-Tsunami-dalam-Manuskrip-Kuno/, diakses 20 Oktober 2020

*) Penulis adalah Pustakawan Ahli Madya pada Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Kalimantan Barat.