No Image Available

Biografi Samion H. AR.: Inspirator dan motivator pendidikan di Kalimantan Barat

 Penulis: M. Rohmadi, M. Lahir, Aliwanto  Kategori: Biografi  Penerbit: Yuma Pustaka  Tahun Terbit: 2022  ISBN: 978-602-8580-95-3  Laman: 268
 Abstrak / Anotasi:

Prof. Dr. Samion H. AR., adalah Rektor IKIP PGRI Pontianak periode 2014-2018. Beliau selain seorang pendidik, juga seorang pemimpin yang gigih memperjuangkan dan membesarkan STKIP menjadi IKIP PGRI Pontianak.

Masa kecil beliau pada saat berada di rentang usia 6 sampai dengan 12 tahun dijalani seperti umumnya anak-anak kebanyakan pada usia itu yang cenderung memiliki karakteristik bermain dan belajar. Beliau akrab dipanggil ‘On’ oleh kedua orang tua dan teman-temannya. Beliau anak pertama dari delapan bersaudara. Beliau berasal dan desa terpencil, melaksanakan aktivitas yang tidak sama dengan anak-anak pada masa sekarang, demikian pula halnya dengan tingkah lakunya karena kondisi lingkungan yang berbeda. Namun, beliau memiliki mimpi besar dan dengan ketekunan serta kesabaran dapat mewujudkan mimpi-mimpi itu menjadi kenyataan. Sekarang beliau menjadi sosok yang layak diteladani dan diidolakan seluruh generasi muda di Kalimantan Barat.

Masa Kecil di Desa Terpencil dan dalam Keluarga Besar
Sebagaimana anak-anak biasanya, beliau sama seperti anak-anak yang lain. Hari-hari tentunya diisi dengan kegiatan bermain, belajar, membantu orang tua, dan sebagainya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa lingkungan memberikan pengaruh terhadap perilaku seseorang. Sama halnya dengan beliau, tingkah laku yang terbentuk banyak dipengaruhi oleh lingkungan. Pergaulan dan interaksi sosial lebih banyak terjalin di Desa Tanjung Merpati tempat beliau sekolah. Demikian juga halnya dengan pembentukan tingkah lakunya, tentunya banyak dipengaruhi oleh pola asuh kakek dan nenek serta lingkungan sekitar dan lingkungan sekolahnya.

Beliau ketika sekolah dasar tidak tinggal bersama kedua orang tuanya. Beliau banyak menghabiskan waktu bersama kakek dan neneknya di Desa Tanjung Merpati, sedangkan kedua orang tuanya berada di Desa Tanjung Bunga yang jaraknya cukup jauh dan Desa Tanjung Merpati. Untuk sampai ke Desa Tanjung Bunga hanya bisa ditempuh melalui Sungai Sekayam kemudian masuk melalui Sungai Merowi yang sekarang sudah menjadi bendungan yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Sanggau sebagai sarana pengairan sawah warga.

Beliau ketika libur sekolah pulang ke Desa Tanjung Bunga dengan menggunakan sampan dan ditempuh dalam waktu yang cukup lama, berkisar setengah hari. Artinya, jika berangkat pagi, untuk datang ke Desa Tanjung Bunga sampai sore hari sekitar pukul 17.00. Hal ini tidak dilakukan oleh beliau sendiri, tetapi bersama Apa’nya (bapaknya) ketika libur dijemput oleh orang tuanya. Bahkan, beliau pernah tidak naik kelas saat duduk di kelas 3. Hal ini terjadi karena memang pada masa itu beliau banyak mengikuti bapaknya berdagang dan berladang sehingga jarang masuk sekolah.

Berlatih Mandiri sejak Masa Kecil
Pengembangan kemandirian mulai terbentuk saat beliau berada di lingkungan ini. Beliau diajarkan oleh kakek dan bapaknya yang secara tidak langsung memberikan pembekalan perilaku mandiri. Pada saat libur dan terkadang tidak masuk sekolah, beliau mengikuti orang tuanya menoreh karet dan terkadang mengikuti masyarakat di kampung mencari hewan buruan seperti rusa. Bahkan lebih dari itu, beliau sering bermalam di hutan bersama warga jika hewan buruan belum ditemukan. Kegiatan berburu ini tidak hanya dilakukan oleh beliau sendiri sebagai anak-anak, tetapi ada juga anak-anak yang lain.

Itu dilakukan oleh beliau ketika berada di Desa Tanjung Bunga bersama kedua orang tuanya. Di Desa Tanjung Merpati, beliau juga diajarkan oleh kakekM/y (panggilan kakek) mencari ikan atau menjala ikan di sepanjang Sungai Sekayam yang terdapat di Kabupaten Sanggau, Kecamatan Kembayan. Sebagai anak-anak, tentunya hal itu dilakukan atas dasar kesenangan dan berdasarkan keinginan yang sudah mulai tumbuh untuk menjadi anak yang berguna.

Dilatih Memiliki Komitmen dan Kedisiplinan sejak Kecil
Dari kisah dan beberapa pengalaman yang dirasakan oleh beliau, pola asuh orang tua cenderung didasarkan atas kondisi ekonomi keluarga yang kurang. Kepribadian dan cita-cita juga terbentuk atas dasar kondisi keluarga yang kurang tersebut. Demikian halnya dengan beberapa peristiwa yang dirasakan oleh beliau ketika mendengar bahwa bapaknya/Apa’ (Apa’ adalah panggilan untuk Bapak) di sel di Malaysia karena keluar masuk tanpa paspor, masuk ke Malaysia dengan melalui jalan tikus yang ditempuh dengan jalan kaki. Orang tua laki-laki beliau di sel di Malaysia tidak hanya sekali, tetapi juga beberapa kali ditangkap dan disel hingga dua minggu sampai dengan dua bulan.

Berdagang di Malaysia memang menjanjikan, tetapi juga penuh dengan liku-liku, pahit dan manisnya. Bapaknya kadang ditangkap oleh polis (polisi Malaysia) atas dasar laporan warga yang tidak senang dengan Bapaknya atas dasar tidak mampu membayar kredit barang yang dibawanya. Barang dagangan yang dibawa ke Malaysia antara lain kain batik, rokok bola dunia, dan rokok gudang garam.

Pola asuh yang diberikan oleh Bapaknya/Apa’nya itu secara langsung memang dirasakan kurang. Akan tetapi, kondisi perjuangan Bapaknya itu membuat pendidikan yang kontekstual atau bermakna bagi beliau. Pola asuh berdasarkan kondisi keluarga inilah yang dimungkinkan membentuk cita-cita untuk mengangkat harkat dan martabat keluarga, dan ditambah dengan perilaku sehari-hari yang secara tidak langsung membentuk kepribadian yang kokoh untuk melanjutkan sekolah sampai tinggi hingga mampu mengangkat harkat dan martabat ketuarga.

Pola asuh yang ditunjukkan oleh kedua orang tuanya memang agak keras, artinya membentuk perilaku agar peduli dengan kondisi keluarga yang tidak begitu sejahtera dalam arti kata ekonomi keluarganya. Selain itu, pola asuh yang diberikan oleh kakeknya ketika berada di Desa Tanjung Merpati lebih banyak tentang bagaimana cara mencari rezeki dan juga diajarkan untuk menjalankan perintah Allah Swt. Kakek beliau adalah seorang Imam di Desa Tanjung Merpati yang dalam kesehariannya juga memberikan pendidikan agama kepada beliau. Kakek beliau juga memberikan pendidikan yang cukup tegas kepada beliau, terutama kaitannya dengan agama. Kadang beliau harus mendengar nasihat dari kakek, bahkan menangis ketika dimarahi karena tidak sholat dan kebanyakan bermain.

Sejak Kecil Memiliki Kreativitas dan Mandiri
Beliau bukanlah lahir dari keluarga yang berada atau keluarga yang berharta. Kehidupan perekonomian keluarga pada masa itu diusahakan hanya untuk memenuhi kebutuhan dasar saja, seperti makan, pakaian, dan biaya sekolah, serta menyisihkan sedikit uang simpanan (celeng), apalagi ditambah dengan jumlah anggota keluarga yang cukup banyak tentunya akan menyebabkan pengeluaran yang juga cukup besar. Pada masa itu kedua orang tua beliau bersama-sama mencari nafkah untuk kehidupan keluarga. Apa’ (panggilan untuk orang tua laki-laki) beliau menghidupi keluarga dengan berdagang keliling dari kampung ke kampung, keluar masuk daerah Malaysia membawa dagangan, seperti obat-obatan untuk penyakit, ikan asin, kaca mata, rokok, kain, dan sebagainya.

Beliau pergi berdagang dari kampung ke kampung yang lain dengan berjalan kaki karena waktu itu memang tidak ada alat tiansportasi lain selain berjalan kaki. Hasil dari berdagang inilah yang digunakan untuk memberikan nafkah keluarga dan biaya pendidikan di bangku sekolah dasar beliau pada waktu itu. Bahkan, Apa’ beliau harus masuk sel ketika berdagang ke wilayah Malaysia seperti kisah sebelumnya. Selain itu, ibu beliau yang dipanggilnya ‘uma’ juga membantu suaminya dengan berladang padi dan sayur, serta berjualan kue, seperti kerupuk, pisang rebus, putu mayang, pisang goreng, dan lain-lain.

Beliau pada masa itu juga menjual kue di sekolah di Desa Tanjung Bunga ketika beliau berada di sana pada saat-saat jam istirahat. Harga kue pada masa itu masih sangatlah murah dibandingkan dengan sekarang. Harga satu kue pada masa itu hanya lima rupiah. Hal ini dilakukan atas dasar kesadaran sendiri untuk membantu orang tua saat duduk di kelas tiga, bahkan beliau pada masa itu juga ikut menoreh karet hingga duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama beliau sudah melakukannya sendiri.

Kedisiplinan yang terbentuk dan pola asuh orang tua beliau memang disadari merupakan bentuk kasih sayang yang diberikan oleh kedua orang tuanya dengan pendekatan yang tentunya berbeda dengan yang lain. Seperti yang telah diungkap sebelumnya, kepribadian beliau memang mau tidak mau terbentuk karena kondisi ekonomi keluarga yang kurang. Demikian pula halnya dengan kedisiplinannya. Pembentukan kedisiplinan beliau muncul selain tumbuh motivasi yang kuat untuk belajar dan dirinya dan yang tak kalah adalah bimbingan orang tua, kakek, dan lingkungan sekitar yang memberikan pembelajaran tidak langsung terhadap pembentukan kepribadian.

Ada beberapa kisah yang telah lalu yang dapat diambil pada saat beliau ikut warga berburu rusa. Untuk bisa mengikuti warga dalam berburu rusa, satu hal yang meski dilakukan adalah masalah berangkat ke hutan. Para warga harus berangkat pada Subuh hari agar bisa sampai dalam hutan dan agar tidak kesiangan. Jika datangnya sudah siang, menurut warga hewan rusa sudah bersiap-siap untuk keluar dari hutan jika sudah sore hari.

Tentang beliau ketika ikut menoreh karet, kebiasaan yang dilakukan ketika ingin menoreh karet harus bangun tidur Subuh hari. Artinya, ketika menoreh karet pada pagi hari, hasil air karet akan lebih banyak jika dibandingkan menoreh pada siang hari ketika pohon karet sudah terkena teriknya matahari. Belum lagi kondisi yang jauh dari perhatian langsung kedua orang tua membuat kondisi yang mengharuskan untuk disiplin. Dari pengalaman inilah terbentuk suatu kedisiplinan beliau terhadap dirinya.

Selain lingkungan luar, keluarga juga dapat memberikan pengaruh terhadap pembentukan kepribadian. Namun, karakteristik anggota keluarga juga sangat mempengaruhi dan memberikan sumbangan sosial terhadap individu. Hubungan yang sehat antaranggota keluarga menentukan keberhasilan seseorang dalam menjalin hubungan sosial pada lingkungan masyarakat.

Beliau sebagai anak yang paling tua ketika usia sekolah dasar memikili adik sebanyak tujuh orang. Perhatian dan pendidikan orang tuapun tidak memberikan perbedaan yang berarti karena kondisi perekonomian keluarga yang sulit. Kebersamaan dalam merasakan sulitnya hidup pun hampir sama juga dengan apa yang dirasa oleh beliau. Hanya saja, masa itu beliau lebih banyak tinggal bersama kakek dan neneknya.

Ketika pulang ke Desa Tanjung Bunga ketika libur atau tidak masuk sekolah, beliau membantu ibunya menjaga atau mengasuhadik-adiknya. Hal ini dilakukan saat ibunya membuat kue untuk membantu Bapak yang sering keluar masuk kampung berdagang. Mau tidak mau memang beliaulah yang mengasuh mereka. Entah apa yang dirasakan pada saat itu, sangatlah tidak mungkin bagi penulis untuk mengungkapkannya karena sulit untuk mengutarakan fenomena jiwa beliau. Namun, yang pasti, karakteristik anggota keluarga memungkinkan dan memberikan pembentukan nilai tersendiri bagi beliau.

Memiliki Kepedulian dengan Masyarakat sejak Kecil
Perjalanan kehidupan yang dilalui beliau di daerah pedesaan dan termasuk pinggiran membuat dirinya memiliki kepedulian dan kebersamaan dengan masyarakat. Hal ini dibuktikan ketika beliau melakukan berbagai kegiatan dengan sahabat-sahabatnya untuk membantu masyarakat yang kesulitan. Hal ini terus dipupuk melalui kegiatan bersama di hutan dan menoreh karet. Berbagai kegiatan bersama masyarakat dilakukan dalam berbagai kondisi yang terus membuat kehidupannya semakin mandiri.

Kemandirian tersebut menjadi pelajaran awal yang terus tertanam dalam hatinya untuk terus menorehkan prestasi dan meraih mimpi-mimpi besarnya. Kebersamaan dengan sahabat dan masyarakat, serta berbagai rintangan yang harus dihadapi membuat beliau harus lebih kreatif dan energik dalam berbagai kesempatan.


 Kembali
wpChatIcon